CITRA PENEGAK HUKUM MAKIN SULIT DIPERBAIKI

Citra penegak hukum makin sulit diperbaiki karena setiap tahun jumlah penegak hukum yang ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) terus bertambah. Sampai tertangkap tangannya Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), PA yang diduga menerima suap, sudah 44 penegak hukum yang berurusan dengan KPK, 15 orang di antaranya hakim. Oleh karena itu, selain peran KPK dan masyarakat, Komisi Yudisial (KY) pun harus berani menindak tegas hakim yang nakal.

Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Syafii Maarif atau Buya Syafii berharap peran Komisi Yudisial (KY) diperkuat usai tertangkapnya Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dalam Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi.

"KY sebagai lembaga pengawas perilaku hakim harus berani membunyikan 'peluit' keras untuk menegur dan mengancam oknum hakim yang tidak tahu diri," kata Syafii di Yogyakarta, seperti dilansir Antara, Minggu (29/1).

Dengan kasus yang menjerat Patrialis, dia khawatir ke depan aparat penegak hukum semakin sulit memperbaiki citra penegakan hukum di Indonesia. "Wibawa penegak hukum akan semakin sulit dipulihkan," kata Syafii.

Selain KY dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masyarakat juga harus ikut mengawasi dan mengawal pemberantasan praktik mafia peradilan. "Masyarakat luas jangan tiarap melihat fenomena yg menjijikkan ini," kata dia.
Seperti diketahui, Patrialis ditangkap KPK pada Kamis (26/1) di pusat perbelanjaan Grand Indonesia Jakarta bersama dengan seorang perempuan. Patrialis diduga menerima hadiah dalam bentuk mata uang asing sebesar USD 20.000 dan 200.000 dolar Singapura (sekitar Rp 2,1 miliar) dari Direktur Utama PT Sumber Laut Perkasa dan PT Impexindo Pratama Basuki Hariman.

Presiden Kecewa

Penangkapan aparat penegak hukum karena kasus dugaan korupsi memunculkan rasa kecewa dari Presiden Joko Widodo. Hal ini diungkapkan Jokowi ketika ditanyai wartawan perihal penangkapan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Patrialis Akbar. "Saya kira, seluruh negara pasti kecewa. Semuanya," kata Jokowi seusai menyerahkan KIP bagi ratusan pelajar di Kulonprogo, DIY, Jumat (27/1/) pecan kemarin.

Ia berucap, penanganan hukum kasus korupsi ke depannya akan dilakukan sesuai tahapan yang telah dilalui selama ini. Reformasi hukum secara menyeluruh dipandang sebagai jawaban untuk menekan praktik korupsi di negeri ini.

Sementara itu, KPK sejak berdiri sampai Januari 2017 ini telah menangani 43 aparat penegak hukum (APH) yang terjerat kasus korupsi. Dari 43 orang tersebut, terbanyak adalah hakim. Artinya, jika ditambah dengan penanganan kasus Patrialis Akbar, berarti catatan KPK bertambah menjadi 44 penanganan kasus APH korup.

"Yang paling banyak adalah hakim sebanyak 15 orang termasuk satu hakim Mahkamah Konstitusi (Akil Mochtar). Kemudian 11 orang advokat, tujuh panitera, tujuh jaksa dan tiga orang polisi. Salah satu polisi adalah mantan penyidik KPK," ujar Jubir KPK Febri Diansyah, Selasa (24/1).

Febri menjelaskan, 15 hakim tersebut terdiri dari enam hakim Tipikor, empat hakim Tata Usaha Negara (TUN), satu hakim MK, satu hakim peradilan hubungan industrial dan empat hakim peradilan umum. "Modusnya sebagian besar penyuapan 36 orang, dua orang malakukan pemerasan, dua orang terkait pengadaan barang dan jasa dan tiga orang melakukan tindak pidana pencucian uang," jelas dia.

Dia mengakui bahwa ini menjadi pekerjaan rumah yang penting bagi KPK. Namun, dia berharap aparat penegak hukum mempunyai kemauan melakukan pembenahan sehingga bisa mencegah korupsi. "Bisa saja dilakukan dengan penguatan pengawasan internal dan keterlibatan pihak lain seperti Komisi Yudisial atau Ombudsman untuk terus mengawasi institusi aparat penegak hukum khususnya lembaga peradilan," imbuh dia.

Selain itu, lanjutnya para advokat atau pengacara juga bisa mengambil bagian dalam mendorong perbaikan aparat penegak hukum. Minimal, kata dia, para advokat tidak terlibat dalam kasus-kasus korupsi.

Perekrutan Mesti Dievaluasi

Sementara itu, Ketua Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS) Ridwan Darmawan menyatakan perlunya evaluasi secara menyeluruh dalam merekrut hakim konstitusi, bercermin dari kasus yang menjerat Patrialis Akbar. "Rekam jejak calon hakim konstitusi harus betul-betul diteropong dari berbagai aspek," kata Ridwan, Minggu 29 Januari 2017.

Menurut dia, rekam jejak mesti dilihat baik dari segi keilmuan, segi kesehatan, maupun rekam jejak calon, terutama soal asal pejabat negara tersebut harus dievaluasi. Dia membandingkan dengan perekrutan calon anggota KPU yang mensyaratkan bukan anggota partai politik selama lima tahun. "Tentu saja hakim MK harus lebih dari itu," ucap Ridwan.

Ridwan melanjutkan, korupsi di dalam hukum international telah masuk dalam kategori kejahatan luar biasa, hostis humanis generis, dan musuh umat manusia. Yang menarik, dia berujar, penangkapan Patrialis ini dilakukan beberapa jam setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara pungujian Undang-Undang Tipikor yang diajukan tujuh PNS.

Ketujuh orang itu dari tujuh provinsi yang berstatus sebagai tersangka, terdakwa, dan terpidana korupsi yang mempersoalkan frasa "dapat" dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. "MK mengabulkan permohonan mereka dengan menyatakan bahwa unsur kerugian negara dalam penindakan kasus korupsi harus bersifat 'actual loss', bukan 'potential loss'," tutur Ridwan. Dia menilai hal itu bakal makin menghambat upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Lebih menarik lagi, kata dia, putusan MK itu mengoreksi putusan MK sebelumnya yang menyatakan bahwa kerugian negara tidak harus "actual loss" dan putusan tersebut diwarnai "dissenting opinion" oleh empat hakim MK.

Ridwan berpendapat, jika Patrialis Akbar terbukti menerima suap, perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang sangat luar biasa. "Peristiwa ini menurut saya malapetaka besar bagi negeri ini, melakukan kejahatan luar biasa, korupsi," ujarnya.
Menurutnya, kejahatan tersebut masuk dalam kategori 'extraordinary crime'. "Ini tamparan keras bagi seluruh komponen bangsa, bukan hanya di MK," Ridwan berujar.

Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar, pada Rabu malam, 25 Januari 2017. Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan Patrialis ditangkap di sebuah tempat di Ibu Kota. Selain Patrialis, ada sejumlah pihak yang ditangkap. Penangkapan Patrialis terkait dengan kasus di lembaga penegak hukum.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Basaria Panjaitan mengatakan hakim konstitusi Patrialis Akbar ditangkap tim satuan tugas antikorupsi saat transaksi suap. Menurut Basaria, pemberian hadiah atau suap itu terkait dengan uji materi Undang-Undang Nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. "Terkait dengan uji materi Undang-Undang Nomor 41 tahun 2014," kata Basaria melalui pesan pendek, Kamis, 26 Januari 2017.

(Redaksi/Berbagai Sumber)
Powered by Blogger.