Sejumlah Pihak Gerah Wartawan "Uka-uka" Marak

CIANJUR, PATROLI---
Koorlap Ormas PBB, Deni Aryandi
Dewasa ini, dunia pers telah banyak tercoreng dengan maraknya wartawan yang tidak jelas status medianya. Mereka hanya mengandalkan kartu wartawan atau idcard  yang diterbitkan perusahaan persnya. Sementara itu, eksistensi medianya, khususnya surat kabar, timbul tenggelam. Akibatnya, penyaluran informasi kepada publik pun tersendat. Seolah mencari keuntungan di sisi profesi jurnalis, oknum wartawan ini justru lebih fokus mengendus kasus untuk selanjutnya 'dijualbelikan' atau biasa disebut didelapanenamkan.

Demikian diungkapkan Deni Aryandi, Korlap Ormas PBB Paguyuban Banten area Jawa Barat yang turut mengisi momen Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2015. Menurutnya, ulah para oknum wartawan yang tidak jelas medianya banyak membuat gerah sejumlah pihak, khusunya birokrasi. "Biasanya ulah para oknum wartawan ini banyak dikeluhkan para kepala desa dan kepala sekolah. Hal itu ditegaskan dengan banyaknya kepala desa maupun kepala sekolah yang mengadu kepada kami terkait ulah oknum wartawan," ungkap Deni.
Di samping itu, lanjutnya, birokrasi sebenarnya merasa terbantu dengan adanya wartawan yang juga berperan sebagai kontrol sosial. "Jika wartawan berpegang teguh kepada kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Pers No 40 tahun 1999 serta aturan lainnya, maka wartawan tersebut akan sangat dibutuhkan keberadaanya. Namun saat ini justru marak oknum wartawan yang melabrak aturan itu. Akibatnya, mereka banyak dihindari," tuturnya.
Ia menjelaskan, jurnalis merupakan salah satu penyambung lidah masyarakat. Sehingga perannya begitu penting. "Tapi ironis, saat ini, khususnya di Kabupaten Cianjur banyak yang mengatasnamakan wartawan tetapi misinya hanya untuk memeras, menakut-nakuti dan lain sebagainya," keluh Deni.
Ia mengaku sering merangkul sejumlah wartawan dalam melakukan misi kontrol sosial, namun tak sedikit pula wartawan yang ketika ditanya dari media mana, koran apa, mereka gelagapan. "Saya tanya, boleh lihat koran terbitan terakhirnya? Mereka menjawabnya dengan gelagapan. Ada yang beralasan belum cetak, tidak terbit dan belum membawa yang baru karena terbitnya ditunda," katanya.
Deni juga mengaku, saat melihat keberadaan wartawan di sebuah desa atau sekolah, mereka bukannya mewawancarai atau memberikan informasi hasil kerjanya, melainkan mencari-cari kesalahan dan UUD, alias ujung-ujungnya duit. "Ada juga yang alasannya ingin bersilaturahmi, tapi di akhir pertemuan dan hendak pulang, mereka malah meminta uang bensin. Tindakan inilah yang merendahkan profesi jurnalis," tuturnya.
Dengan demikian, tandasnya, ia selaku Korlap Ormas PBB Area Jabar menghimbau kepada birokrasi, dinas/instansi di Kabupaten Cianjur jika kedatangan oknum wartawan seperti itu dan  namanya tidak tercantum di box redaksi agar tidak dilayani. Sebab, dalam kode etik jurnalistik, disebutkan Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
"Jika oknum itu tetap memaksa, dan mengancam segera laporkan kepada pihak kepolisian guna memperoleh perlindungan. Apalagi muncul itikad memeras, segera laporkan oknum wartawan tersbut. Sebaliknya, jika kedatangan wartawan yang sebenarnya, birokrasi tak usah takut, layani mereka dengan baik karena mereka juga berhak mendapatkan berbagai informasi yang ada," tandasnya.
Hal senada juga diungkapkan tokoh aktivis LSM/ormas di Kab. Cianjur, H. Didit. Ia yang mengaku lebih gemar mengamati kasus korupsi dan penyelewengan bantuan menyebutkan, keberadaan wartawan dalam menyajikan informasi-informasi terkait kasus korupsi dan penyelewengan bantuan dari pemerintah sangat membantu public.
“Menurut opini saya, wartawan memantau kasus-kasus tersebut adalah haknya, termasuk juga mempublikasikan dan menindaklanjutinya kepada aparat penegak hukum. Yang penting informasi itu akurat, berimbang dan sesuai dengan aturan penyajian berita,” katanya.

Namun, dengan banyaknya tingkah laku oknum wartawan, terdakang berita kecil dibesar-besarkan, dan ujung-ujungnya ada kalimat ‘86’. “Jika birokrasi kedatangan wartawan yang benar-benar, maka tak usah dihindari. Hargai mereka, hadapi mereka dengan prosedur yang tepat. Karena saya yakin, wartawan yang sesungguhnya ini tidak akan macam-macam,” tandasnya. (M. Jalil)
Powered by Blogger.