Dari 2.976 Industri Makanan Olahan, Hanya 30% Memiliki Sertifikat Halal dari MUI

MAJALENGKA, PATROLI Hanya 30% saja dari jumlah 2.976 industri makanan olahan di Kabupaten Majalengka yang telah memiliki sertifikat halal dari MUI dan terdaftar di Badan Pengolah Obat dan Makanan (BPOM).
Hal itu terjadi akibat sulitnya pemilik usaha memenuhi persyaratan BPOM. Begitu yang disampaikan Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Majalengka, H. Ima Pramudya disertai Kepala Bidang Industri, H. Asep Iwan Haryawan usai bertemu dengan sejumlah pemilik usaha makanan ringan di kantornya, baru-baru ini. Pemerintah sebetulnya setiap tahun berupaya memfasilitasi sejumlah perusahaan untuk mendapatkan sertifikat dari BPOM. Agar konsumen yang membeli makanan dari industri rumah tangga tidak merasa ragu untuk mengonsumsinya. Konsumen akan merasa aman ketika berbelanja makanan yang terdapat label BPOM. “Setiap tahunnya kami berupaya memfasilitasi hingga 20 perusahaan. Inginnya memang dalam jumlah banyak, namun anggarannya terbatas,” ungkap H. Asep. Menurut H. Asep, dari anggaran yang tersedia terkadang tidak terserap karena perusahaan industri makanan ringan yang masuk kategori industri rumah tangga tersebut tidak sesuai dengan peryaratan yang dikehendaki oleh BPOM. Industri-industri rumah tangga ketika disurvai ternyata tidak memiliki sanitasi pembuangan air limbah industri, bahan baku yang tidak rutin, peralatan pengolah makanan yang tidak terjaga. Juga ruangan penyimpanan makanan olahan yang tidak memadai, atau bahkan dapur tempat mengolah makanan yang kurang bersih. Sementara BPOM menginginkan semua perabotan yang digunakan, air dan lingkungan pabrik benar-benar higienis. “BPOM ini ketika memeriksa/survai, benar-benar teliti. Jika ada kotoran atau arang hitam di dinding atau langit-langit ruangan (harangasu), mereka menolak untuk mengabulkan permohonan. Jadi, untuk mendapat sertifikat BPOM itu, bukan sulitnya persyaratan, tapi pengusaha harus benar-benar mematuhi kebersihan lingkungan dan perabotan yang digunakan termasuk pengolahan air limbah,” ungkap H. Asep. Pembinaan untuk hal tersebut, menurut H. Asep, membutuhkan keterlibatan banyak pihak, seperti dari lingkungan hidup, dinas kesehatran, dan instansi lainnya. “Sehingga, pembinaan bisa benar-benar terpadu,” ucapnya. Ketika ditanya besaran biaya untuk pembuatan sertifikat, H.Asep menyatakan kurang lebih sebesar Rp 1,6 juta. Untuk dana sebesar itu, banyak perusahaan industri rumah tangga yang keberatan karena uang mereka digunakan untuk modal usaha. (K Surasa)
Powered by Blogger.