Potensi Kecurangan di TPS Sangat Besar
Awas, Black Campaign Makin Marak
Di antara problem DPT yang belum juga usai, kekhawatiran kualitas Pemilu 2014 terancam rendah pun makin menjadi. Hal itu terjadi di antaranya karena black compaign makin marak pada kampanye tahap akhir Pemilu 2014 dan kekhawatiran akan acaman kecurangan pada saat penghitungan dan rekapitulasi suara menjadi momok yang makin menakutkan.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti, menyatakan potensi kecurangan saat perhitungan suara sangat besar. Hal ini disebabkan proses penghitungan yang hanya melalui sekali pemindaian. "Ini harus melibatkan banyak pihak jika ingin dianggap fair," jelas Ray, Senin (24/3). Dia menyatakan potensi seperti ini sudah ada sejak pemilu sebelumnya. Permasalahannya selalu sama, yaitu pemindaian dari TPS ke tingkat yang lebih tinggi. Di sanalah menurutnya potensi kecurangan terjadi.
Selain itu, proses pemilu dibingungkan lagi dengan penghitungan menggunakan teknologi dan tidak. Menurutnya, tidak ada dasar hukum yang kuat untuk menghitung dengan teknologi. Kalau penghitungan teknologi tidak sama dengan penghitungan manual, maka yang menjadi patokan tetap yang manual.
Pengamat Politik dari Universitas Indonesia (UI) Agung Suprio mengatakan, Negatif Campaign dengan Black Campaign itu berbeda. Dimana akhir-akhir menjelang hari H pemilu 2014 antara calon presiden sudah saling “serang” hingga sampai membuka aib, guna melemahkan dukungan dari masing-masing kubu. “Kita harus membedakan antara negatif campaign dengan black campaign. Negatif campaign adalah kampanye yang membuka aib seseorang yang membuat elektabilitas capres atau partai turun,” ujar Agung kepada Harian Terbit di Jakarta, Senin (24/3) malam. Menurut Agung, negatif campaign hal biasa dilakukan dalam politik dan dibolehkan.
“Itu biasa, negatif campaign diperbolehkan bahkan harus dilakukan untuk menghajar lawan. Sedangkan black campaign adalah serangan primordial dan fitnah, ini yang dilarang. Jadi negatif campaign itu sehat dalam demokrasi bahkan dianjurkan untuk menguliti lawan,” beber Agung.
Menurutnya lagi hal ini adalah dinamika yang terjadi di masyarakat. Namun yang dilarang adalah menyinggung persoalan Suku Agama dan Ras (SARA). “Ini adalah dinamika yg positif karena masyarakat akan bisa menilai mana capres yang bagus. Bahkan jika perlu antarcapres dan timsesnya harus saling bongkar, dan yang dilarang adalah kampanye yang bersifat primordial atau sara,” pungkasnya.
DPT Masih Rawan Dimanipulasi
Kisruh daftar pemilih tetap (DPT) dinilai masih rawan dimanipulasi. Untuk itu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus proaktif dalam menyelesaikan 7–10 juta DPT yang masih bermasalah.
“Ini rawan manipulasi. Kalau KPU dan pemerintah tidak proaktif, parpol-parpol peserta pemilu bisa kehilangan potensi perolehan kursi setara dengan 35–50 kursi,” kata Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo di Jakarta. Soal kisruh DPT dan NIK saat ini, kata dia, menurut Kemendagri dan KPU tersisa sekitar tujuh juta. Berdasarkan diskusi dan temuan lapangan, rata-rata mereka yang tidak memiliki NIK atau e-KTP adalah penduduk yang tergolong “keterbatasan” di desanya.
Mereka terdaftar sebagai pemilih dan tidak memiliki NIK karena malas atau tidak punya ongkos untuk datang ke kantor kecamatan. “Rata-rata mereka ini adalah golongan marhaen. Ada baiknya pemberian NIK dilakukan secara aktif oleh pemerintah dan jemput bola,” ujarnya. Terkait kisruh DPT ini, menurut Tjahjo ada beberapa hal yang mengkhawatirkan sebagai faktor X yang akan mengganggu demokratisasi Pemilu 2014. Faktor X itu antara lain faktor Lemsaneg diidentifikasikan tetap akan bekerja sama dengan KPU. Begitu DPT ditetapkan, kata dia, proses enkripsi berjalan.
“Dan, ini yang membahayakan suara yang diperoleh. Lemsaneg lembaga intelijen karena di situ murni institusi TNI. Kalau begitu di mana netralitas TNI? Di sisi lain, DPT betul-betul dijadikan alat pemenangan,” ujarnya. Untuk itu, parpol sebagaimana pilihan politik masyarakat yang mempunyai hak pilih/ hak politik harus menggandeng kekuatan ekstra untuk membangun opini publik agar lembaga terkait, termasuk pemerintah pusat dan daerah harus netral.
“Wajar kalau partai politik termasuk PDIP, masih melihat posisi pelaksanaan Pemilu 2014 terancam tidak jurdil,” ungkapnya. Menurut dia, dalam menyikapi kisruh DPT ini, mutlak political willKPU dan Bawaslu dibutuhkan untuk membuat Pemilu 2014 lebih demokratis, bersih, dan jurdil. “Seluruh komponen kekuatan rakyat Indonesia dan TNI/Polri tanpa pandang bulu harus berani menyatakan sikap siapa lawan siapa kawan kalau ada individu, kelompok, parpol, institusi yang berani menjadikan Pemilu 2014 tidak jujur dan tidak demokratis,” tegasnya.
Ketua DPP Partai Hanura Saleh Husin mengatakan, angka DPT bermasalah yang mencapai 7–10 juta tidak bisa disepelekan. Jika itu dimanfaatkan oleh partai tertentu dan dimanipulasi, ada partai yang mendapatkan suara hingga 5,6% tanpa harus bekerja keras. “Angka sebesar itu terbilang besar lantaran setara dengan 5,6% jumlah pemilih,” katanya.
Menurut Saleh, wajar pihaknya curiga dengan masalah DPT karena KPU pun tidak menjamin selisih angka tersebut tidak bakal menjadi permainan politik. Ketua DPP Partai Demokrat Khatibul Umam Wiranu meminta semua pihak bisa menerima dan menghormati apa yang sudah diputuskan oleh KPU terkait DPT. “Kalau mundur terus memang masalahnya akan selesai? Kita tidak dapat berharap DPT clear100%. Masalah DPT itu sangat dinamis. Tiap hari ada yang meninggal, setiap hari pula usia 17 tahun bertambah. Kita sudah mengerti itu,” katanya.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow mengatakan, kekhawatiran atas masalah DPT karena sejauh ini angka yang dianggap masalah menjadi sebatas kerumunan saja. KPU tidak transparan angka 10,4 juta yang bermasalah itu faktor apa saja dan di mana saja.
“Jadi ini memang karena soal bagaimana KPU lebih terbuka, ini seolah klaim semua. Dari 10 juta turun ke 7 juta, turun terus. Meski kita akui progresnya, tetapi harusnya membangun kepercayaan publik atas yang dikerjakan sekarang. Kalau hanya progres angka tidak akan percaya,” katanya. (Tim Redaksi/Berbagai Sumber)